Home News Gandrung Institut Dan Lakon Panoptikon.
News

Gandrung Institut Dan Lakon Panoptikon.

Jombang, 4 Juni 2025 – Setelah isyak saya dan para rakyat berangkat ke sekolahan Aliyah saya dulu. Setelah markir mobil bertulis Sastra Terus Berjalan saya memasuki area Aula MA Al […]

Jombang, 4 Juni 2025 – Setelah isyak saya dan para rakyat berangkat ke sekolahan Aliyah saya dulu. Setelah markir mobil bertulis Sastra Terus Berjalan saya memasuki area Aula MA Al Hikmah Balongrejo tempat digelarnya dua pementasan sekaligus. Yakni KUH yang dimainkan oleh komunitas Teater Ginyo Lamongan dan Gandrung yang dipentaskan oleh Komunitas Teater Institut-Teater kampus Unirow Tuban.

Memasuki area pementasan bagi saya adalah menyelami masa lampau, di mana saya akan bermain volly bal. Lapangan volly jaman saya dulu kini dipakai pentas dua teater tersebut. Pementasan KUH memakai konsep indor. Sedang pementasan Gandrung memilih outdor. Di situlah awal pemadangan mulai terkondisikan pada wacana bahwa akan ada pementasan. Di altar terbuka, pengunjung disuguhi dua fokus pandangan warung dan dapur yang disorot khusus oleh tim lighting di sekitar kegelapan.

Usai pementasan KUH, penonton langsung dihimbau ke altar Aula untuk menyaksikan pemetasan Gandrung. Empat obor disulut yang mirip pementasan Besutan di Jombang. Musik Gandrung Banyuwangen mulai terdengar. Musik yang tidak asing bagi saya bagai mundur ke lorong waktu ketika saya hidup di Kuta dan Denpasar. Hampir tiap hari saya mendengar musik Banyuwangi yang diputar oleh para tetangga kost perantau dari Jajag, Srono, Rogojampi, Muncar dan Caluring. Terlihat adegan slide ekstra sepasang penari Gandrung.

Berikutnya beberapa aktor mulai dialog. Ternyata bukan pertunjukan murni Tari Gandrung. Melainkan ada lakon cerita yang diadaptasi oleh Taufik. Tokoh Samod dan Gimun yang diperankan oleh Kafa dan Amak didapuk sebagai purcaci sedang ngopi di warung Yu Lasmi. Dua tokoh ini sempat membuat penonton tertawa juga improvisasi dialognya dengan penonton. Namun untuk tampil outdor, suara mereka berdua kurang kuat terdengar hingga penonton terjauh. Tekhnik olah vokal harus lebih digali.

Berikutnya masuk dua tokoh Sanemo yang diperankan  oleh Pamungkas sebagai milyader juragan tembakau dan Panjikawuk sebagai pejabat yang diaktingkan oleh Sulton. Mereka hadir di warung Lasmi karena ingin berjoget bersama saat Tari Gandrung digelar. Yu Lasmi selain pemilik warung juga penari Gandrung kawakan. Namun hari itu Lasmi akan melounching Juminten anak sematawayangnya jadi penari Gandrung juga tepat di usia 17 tahun. Jumilah gadis dara jelita tidak hanya berparas cantik, namun juga elok yang kini jadi incaran para lelaki hendak mempersyunting,  termasuk Sanemo dan Panjikawuk. Keduanya bersaing menggaet hati Jumilah dengan kampanye kopi pahit-karena manisnya hanya ada di janji janji belaka. Sanemo berjanji akan membelikan Lasmi dan Jumilah Dron Helocopter sebagai kendaraan bebas hambatan jika kulakan dagangan ke pasar. Sementara Panjikawuk sang pejabat pembikin kebijakan dan UU berkuasa hendak memindahkan pasar di belakang warung Lasmi agar tidak usah pergi jauh apalagi memakai holicopter program Sanemo.

Dialog Sanemo dan Panjikawuk dalam naskah Gandrung tersebut merekam realitas kontekstual, bahwa dengan kekayaan hartanya, oligarki berkuasa menjadikan atau melengserkan para pejabat. Di sisi lain, berapapun harta milyoner jangan berseberangan dengan pejabat,karena harta bisa disita dan masuk penjara. Dalam konteks keindonesiaan, berpuluh tahun Naga 9 memerankan pergantian presiden dengan setting seolah kemenangan rakyat. Tiba saatnya Naga 9 dipanggil Prabowo ke Istana Negara dengan perjanjian memulangkan dana mereka di luar negeri dan memperkuat ekonomi dalam negeri. Atau Jika Naga 9 tidak mau, maka konsekuensinya adalah disita dan masuk penjara lantaran dalam menjalankan usaha di Indonesia, Naga 9 sudah diketahui ada cacat hukum dan belangnya. Naskah ini serupa gagasan Panoptikon sebuah penjara melingkar yang dicetuskan Jeremy Bentham awal abad 18.

Tari Gandrung pun dimulai. Para lelaki berjoget bersama yang dalam istilah Remo atau Campursarian adalah Mbeso, yakni penonton nyawer dan ikut menari. Bagi Panjikawuk tari Gandrung, sawer dan joget adalah seni sebagai hiburan. Sedangkan penarinya baik Lasmi apalagi Jumilah sang dara jelita adalah pemuas nafsu ranjang usai pementasan. Ibarat mangku purel nyang karaoke, para tamu tidak sekedar memangku LC, tapi juga menggenjot penyanyi agar lebih oke.

Dalam adegan Tari Gandrung antara Jumilah yang diperankan oleh Bunga dan Panjikawuk, penonton terhipnotis. Bagaiaman mereka berdua tampil sangat rampak, termasuk ekspresi wajah ketika Panjikawuk mulai merusak seni tari dengan nafsu hasrat mencumbui Jumilah. Wajah Jumilah pun memperlihatkan risih atas ulah Panjikawuk yang mulai kasar dan memaksa.

Melihat sesi adegan tersebut, Lasmi menjerit dan menghentikan seluruh penari. Lasmi sebagai ibu, hatinya tidak kuasa melihat anak gadisnya hendak diacak acak Panjikawuk. Lasmi membongkar rahasia kenapa Jumilah lahir tanpa ayah. Ternyata Jumilah adalah bayi yang lahir dari rahim Lasmi hasil gaet asmara dengan Panjikawuk. Artinya, Jumilah adalah anak kandung Panjikawuk.

Namun Panjikawuk tidak menghiraukan Lasmi. Hasrat dan jabatan tidak boleh dihalangi oleh perasaan. Lontaran Lasmi dianggap sebagai agar iba belaka. Panjikawuk terus menyeret Jumilah untuk dibawa pulang dan dinikahinya. Lasmi yang mencoba menghalau tetap disingkirkannya.

Penonton terpukau menyaksikan adegan terakhir tersebut. Teater Institut Unirow sukses mementaskannya. Adegan Lasmi didorong Panjikawuk hingga tersungkur di tanah seolah benar benar akting jatuh yang mencapai puncak adegan. Saya membayangkan apakah para pemain ini sudah latihan dan observasi area. Sebab saya juga pernah jatuh tersungkur dan luka babras di tempat yang sama jaman main voly dulu. Ini adalah permaianan teater yang setiap adegan disaksikan langsung oleh penonton. Beda dengan syiting film yang bisa dicut sambung. Termasuk adegan Jumilah diseret Panjikawuk, penonton benar benar merasakan hanyut dalam ketegaan.

Namun ada yang menusuk relung hati. Yakni suara keras ratapan Lasmi pada kekecewaan takdir yang dideritanya bahwa anaknya harus jatuh di tangan orang yang sama. Suara Zalna dan Anton cukup kuat dan terlatih sebagai pementasan outdor. Suara Lasmi terngiang nyaring bersama kegelapan malan yang hening menuju tepuk tangan di ujung pementasan Gandrung malam itu.

Writer: Sabrank Suparno. Sastrawan yang bergiat di Lincak Sastra Jombang. Alumni MA Al Hikmah Balongrejo sekitar tahun 1997. Kini terus menulis berbagai tema sambil bertani.

Editor: admin

Previously

MTsN 16 Jombang Gelar Doa Bersama dan Tasyakuran Kelulusan Siswa

Next

Kemana Perginya Emha (Cak Nun)?

admin
Author

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Mata Jombang
advertisement
advertisement