Halal Bihalal dan Secuil Kisah Nyata Bapak Bangsa
Jombang, 23 Maret 2025- Kubaca kiriman teman di aplikasi whatsapp , Achmad Zainuri yang dilahirkan di Surabaya pada 1 Mei 1964 seorang seniman dan budayawan dengan seabrek prestasi. Cuilan cerita yang menarik yang mungkin […]
Jombang, 23 Maret 2025- Kubaca kiriman teman di aplikasi whatsapp , Achmad Zainuri yang dilahirkan di Surabaya pada 1 Mei 1964 seorang seniman dan budayawan dengan seabrek prestasi.
Cuilan cerita yang menarik yang mungkin patut didiskusikan, tentang gaya kepemimpinan. Di banyak media sekarang, lagi gayeng membahas RUU tentang TNI dan kemarin di Rapat Paripurna DPR RI secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi Undang-Undang TNI yang baru pada Kamis, (20/3/2025).Lantas apa korelasinya? Menurutku korelasinya adalah pengalaman ketakutan masalalu tentang dwifungsi ABRI dan Pak Prabowo presiden sekarang adalah mantan ABRI. Oleh karena itu wajar dan bagus ketika kemudian Beliau merespon dengan mengunggah banyak pidato resmi Beliau tentang ketakutan itu tak perlu terjadi di beranda-beranda media sosial kita. Rakyat seperti aku sedikit adem mendengarnya.
Kembali pada cuilan cerita yang dipetik dari Buku Suka Duka Fatmawati Sukarno sebagaimana diceritakan kepada Kadjat Adrai dan mungkin isi cerita ini hampir sama dengan cerita-cerita tentang Gus Dur dan tokoh-tokoh lain tapi yang terpenting adalah bagaimana cerita ini bisa menginspirasi pembaca untuk menjadikan masukan gaya kepemimpinan agar tidak arogan dan jauh dari harapan rakyat .
Presiden RI Pertama Ir Soekarno menyimpan sejumlah kisah menarik menjelang Idul Fitri. Meskipun seorang Presiden, Bung Karno ternyata tidak beda dengan rakyat biasa ketika menghadapi Lebaran. Menjelang Lebaran, sang Proklamator menemui mantan Menteri Luar Negeri DR. Roeslan Abdulgani untuk dicarikan uang. “Cak, tilpuno Anang Thayib. Kondo’o nek aku gak duwe dhuwik,” kata Bung Karno… (Cak, teleponkan Anang Thayib. Beritahu kalau aku tak punya uang…) Anang adalah keponakan Roeslan, tinggal di Gresik, seorang pengusaha peci (kopiyah) merek Kuda Mas yang sering dikenakan oleh Soekarno. “Beri aku satu peci bekasmu. Saya akan lelang,” kata Roeslan Abdulgani. “Bisa laku berapa, Cak..?” tanya Soekarno. “Wis ta laa, serahno ae soal iku nang aku. Sing penting beres,” sahut Roeslan. (Sudahlah, serahkan saja soal itu pada saya. Yang penting beres). Roeslan lalu menyerahkan kepada Anang satu peci yang bekas dipakai Soekarno. Roeslan kaget ternyata jumlah peserta lelang begitu banyak, semuanya pengusaha asal Gresik dan Surabaya. Tapi yang membuatnya sangat terkejut ternyata Anang melelang tiga peci. “Saudara-saudara,” kata Anang. “Sebenarnya hanya satu peci yang pernah dipakai Bung Karno. Tetapi saya tidak tahu lagi mana yang asli bekas Bung Karno. Yang penting ikhlas atau tidak..?” “Ikhlas..!!!” seru para peserta lelang antusias. “Alhamdulillah,” sahut Anang. Zakat Fitrah Bung Karno Dalam waktu singkat terkumpul uang sepuluh juta rupiah. (kala itu sangat besar nilainya). Semua uang itu segera diserahkan Anang kepada Roeslan. “Hei… Asline lak siji se,” kata Roeslan. (Yang asli cuma satu kan..?) “Iyaa. Sebenarnya dua peci lainnya itu yang akan saya berikan untuk Bung Karno,” kata Anang. “Tapi kok kedua peci itu jelek..??” “Memang sengaja saya buat jelek. Saya ludahi, saya basahi, saya kasih minyak, supaya kelihatan bekas dipakai,” sahut Anang. “Koen iki kurang ajar Nang, mbujuki wong akeh,” Roeslan ekting ngamuk. (Kamu kurang ajar Nang Nang. Nipu banyak orang). “Nek gak ngono gak oleh dhuwik akeh,” enteng saja Anang menjawabnya. (Kalau nggak begitu mana mungkin bisa dapat banyak uang). Roeslan kemudian menyerahkan semua uang hasil lelang kepada Soekarno. “Cak, kok akeh men dhuwike…??” Bung Karno kaget. (Banyak banget uangnya) “Iku akal-akalane Anang,” jelas Roeslan. (Itu semua akal-akalan Anang) Roeslan pun menceritakan bagaimana cara Anang menggandakan peci. “Kurang ajar Anang..! Nek ngono sing duso aku apa Anang..??” tanya Bung Karno. (Kalau begitu yang berdosa saya atau Anang?) “Anang…,” singkat saja sahutan Roeslan. “Dhuwik sakmono akehe jange digawe apa Bung..?” tanya Roeslan. (Uang begitu banyak sebenarnya akan digunakan untuk apa Bung..?” “Gawe Zakat Fitrahku…” “Gowoen kabeh dhuwik iki nang Makam Sunan Giri. Dumno nang wong-wong melarat nok kono,” kata Bung Karno. (Untuk Zakat Fitrahku. Bawa semua uang ini ke Makam Sunan Giri. Bagikan pada orang-orang miskin di sana…..” jawab Soekarno.
Kita ketahui bersama bahwa presiden Soekarno adalah penganut agama Islam. Dimasa kepemimpinan beliau mempopulerkan halal bihalal seperti yang kita kenal saat ini.
Tradisi halal bihalal merupakan tradisi asli Indonesia yang dilakukan setelah Hari Raya Idul Fitri bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi, menyambung kembali hubungan yang mungkin terputus, dan menjaga keharmonisan di antara umat Islam.

Sambil merefresh ingatan kita tentang sejarah Halal bihalal :
Pada tahun 1948, KH Abdul Wahab Hasbullah diundang ke Istana oleh Presiden Sukarno untuk memberikan nasihat dan pendapat. Undangan ini dilakukan pada pertengahan bulan Ramadhan 1948. Untuk mencari formula mempererat silaturahmi antarpemimpin politik yang berkonflik.
Maka di tahun 1948 inilah , KH Abdul Wahab Hasbullah memperkenalkan istilah halal bihalal kepada Presiden Sukarno. KH Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Atas saran KH Abdul Wahab, Presiden Sukarno mengundang seluruh tokoh politik ke Istana Negara pada Hari Raya Idulfitri 1948 bertujuan untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Sejak saat itu, berbagai instansi pemerintah mulai mengadakan halal bihalal.
Konon, tradisi ini sudah ada sejak masa Pangeran Sambernyawa, Mangkunegara I (1725). Sumber lain juga menyebutkan tradisi halal bihalal bermula dari para pedagang martabak asal India di Taman Sriwedari Solo sekitar tahun 1935-1936. Kala itu, martabak masih menjadi makanan baru bagi masyarakat Indonesia.
Para pedagang martabak ini mempromosikan dagangannya dengan kata-kata ‘martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal’. Sejak saat itulah istilah halal bihalal mulai populer di masyarakat Solo.(SyS)
Writer: Suwasis
Editor: admin






