Dari Hamlet ke Toean Markoen: Melawan Mesin Peradaban yang Mematikan
Jombang, 7 Oktober 2025 – Minggu, 05 Oktober 2025 di Gedung Kesenian Jombang, tepat pukul 19.30 wib., gedung pertunjukan dibuka. Memasuki ruang pertunjukan itu kami disugguhi panggung remang dominan jingga […]

Jombang, 7 Oktober 2025 – Minggu, 05 Oktober 2025 di Gedung Kesenian Jombang, tepat pukul 19.30 wib., gedung pertunjukan dibuka. Memasuki ruang pertunjukan itu kami disugguhi panggung remang dominan jingga kemerahan dengan properti industrial berupa seng bergelombang yang ditata menyerupai cerobong-cerobong lengkap dengan hiasan vandal cat semprot. Dibelakangnya terpasang beberapa bendera dalam berbagai ukuran, dominan berwarna merah dan jingga, dengan gambar tengkorak simbol yang sering kita dapati pada bendera bajak laut atau yang baru-baru ini sempat booming, One Piece. Simbol-simbol ini membawa ingatanku pada bentuk terror, kekuatan bahkan mungkin anarkisme. Kemudian disusul dengan suara sirine dengan volume cukup keras dan asap yang mengaburkan pandang dan meneror pernafasan. Kemudian teror Teater Api Indonesia (TAI) lewat sajian berjudul TOEAN MARKOEN dimulai.

Luhur Kayungga, sutradara dari pementasan ini menyampaikan dalam diskusi pasca pentas, bahwa Toean Markoen adalah adaptasi dari naskah drama “Mesin Hamlet” atau “Hamlet Machine” ditulis oleh Heiner Müller, seorang dramawan, penyair, dan sutradara asal Jerman Timur, sebagai adaptasi dan kritik dari naskah klasik “Hamlet” karya William Shakespeare. Karya ini muncul pada tahun 1977 dan mengangkat tema-tema politik dan sosial dengan latar belakang situasi Jerman pada masa itu. Müller mengambil tiga tokoh utama dari cerita asli, yakni Hamlet, Horatio, dan Ophelia, dan menggunakan mereka sebagai simbol untuk menyampaikan pergolakan dan konflik dalam konteks Jerman modern.
Dalam “Mesin Hamlet,” Müller tidak mengadopsi seluruh alur cerita Shakespeare, melainkan memecah emosi dan konflik dalam diri Hamlet menjadi enam bagian yang berbeda, sehingga naskah ini menjadi sangat berbeda dan kompleks dibandingkan dengan sumber aslinya. Naskah ini memiliki bentuk yang lebih eksperimental dan bersifat monolog, dengan bahasa yang padat dan penuh simbolisme. Pendekatan ini merefleksikan kritik Müller terhadap mesin sosial dan ideologi yang menggerakkan manusia menjadi semacam “mesin” tanpa pikiran dan rasa, menggambarkan alienasi dan dehumanisasi dalam masyarakat modern. Menariknya menurutku, tokoh Ophelia dalam naskah ini diubah secara radikal: dari perempuan pasif menjadi simbol pemberontakan serta kemarahan perempuan terhadap sistem patriarkal dan kekuasaan laki-laki. Ini mencerminkan arus pemikiran feminis yang sedang menguat di Eropa pada era 1970-an

“Mesin Hamlet” dianggap sebagai karya penting dalam sejarah teater kontemporer karena menggabungkan estetika avant-garde dengan konteks sejarah dan politik yang kritis. Karya ini juga membuka ruang bagi interpretasi bebas dalam panggung, sehingga sering kali diadaptasi dan dipentaskan dengan beragam gaya dan metode teatrikal. Secara singkat, penulisan naskah “Mesin Hamlet” oleh Heiner Müller adalah suatu karya yang merevolusi drama klasik Shakespeare dengan membawanya ke ranah kritik sosial-politik, menggunakan metode eksperimental dan simbolik untuk menggambarkan pergolakan batin dan perjuangan negara Jerman Timur pada zamannya.
TAI melalui pementasan berjudul “Toean Markoen”, mengadaptasi naskah “Mesin Hamlet” karya Heiner Müller dengan mengaitkan isu-isu dalam naskah tersebut pada konteks politik, sosial, dan kebudayaan di Indonesia masa kini. Dalam adaptasi ini, naskah asli yang mengangkat kritik terhadap mesin industri dan dehumanisasi di Jerman Timur dipadukan dengan realitas kondisi Indonesia, terutama terkait isu industri, kapitalisme, dan dampak sosial-ekologisnya.
“Toean Markoen” menghadirkan simbolisasi peradaban yang serakah dan industri yang merenggut martabat manusia, membuat manusia terasa seperti bagian dari mesin tanpa kebebasan dan kesadaran penuh. Pentas ini merefleksikan problem kapitalisme yang menyebabkan perbudakan modern, penggantian tenaga manusia dengan mesin, hingga pencemaran lingkungan. Adaptasi ini dengan tegas menghubungkan revolusi industri dan keganasan sistem kapitalis dengan problematika kusutnya tatanan sosial dan lingkungan hidup di Indonesia, seperti penggusuran, eksploitasi sumber daya alam, dan hilangnya keadilan sosial.
Melalui pementasan ini, TAI mencoba menyampaikan pesan bahwa perubahan sosial harus diupayakan demi keluar dari “kubangan” destruktif yang dihasilkan industri dan sistem kekuasaan. Mereka menggarisbawahi pentingnya kesadaran kolektif untuk mengembalikan kemanusiaan yang telah diculik oleh praktik industri dan kebijakan yang timpang. Adaptasi ini berfungsi sebagai refleksi kritis atas kondisi Indonesia sekarang dengan menggunakan bahasa teater yang kuat dan simbolik, memperlihatkan bagaimana naskah “Mesin Hamlet” yang lahir dari perpaduan trauma sejarah, krisis ideologi, dan kehancuran identitas manusia modern, masih relevan untuk mengupas dinamika konflik politik, sosial, dan budaya yang ada di Indonesia saat ini.
Kita hidup di zaman mesin bukan lagi terbuat dari besi dan kabel, melainkan algoritma yang mengatur setiap pikiran dan emosi kita. Di tengah kemudahan yang ditawarkan teknologi, kita perlahan kehilangan arah, terperangkap dalam mesin sejarah yang membuat kita lupa pada kemanusiaan sejati. Sebagaimana Hamlet yang terjebak dalam konflik batinnya, kita kini menjadi bagian dari mesin raksasa bernama peradaban digital: efisien dan cepat, namun sering kali tanpa ruang untuk merasakan kehadiran diri sejati.
Dalam pementasan “Toean Markoen,” kita dipaksa menatap cermin yang memantulkan siapa kita sebenarnya di era ketika kemanusiaan nyaris menjadi program yang berjalan otomatis. Malam itu, panggung bukan hanya tempat pertunjukan, melainkan ruang refleksi bagi kita semua. Sebuah panggilan untuk menyadari bahwa manusia bukan sekadar bagian dari mesin produksi, melainkan makhluk dengan perasaan, keinginan, dan kekuatan untuk mengubah dunia. Saat industrialisasi dan kapitalisme membawa dampak destruktif yang mengikis martabat manusia dan merusak lingkungan, “Toean Markoen” mengingatkan kita akan tanggung jawab kolektif demi perubahan sosial. Ini adalah seruan untuk berhenti sejenak dan menekan tombol ‘pause,’ agar kita bisa kembali mendengar detak hati kita sendiri dan menemukan makna hidup yang lebih dalam.
Riris D. Nugrahini_Penikmat Teater
Mojowarno, 07 Oktober 2025